“Tidak 100 persen betul. Kalau memang orang itu alergi protein telur, bisa saja terjadi gatal-gatal setelah mengonsumsi. Tetapi kalau tidak ada faktor alergi, ya tidak menimbulkan gatal,” kata Dr. dr. Yohana Titus, MS, SpGK dari Universitas Indonesia.
Menurut dr. Yohana, reaksi alergi setelah mengonsumsi makanan tidak selalu bersumber dari telur. Ada orang-orang yang alergi protein lain seperti udang atau susu. Untuk mengetahui apakah seseorang alergi protein telur atau tidak, lanjut dr. Yohana, kita bisa melakukan tes alergi di rumah sakit.
“Sekarang alatnya sudah tersedia di beberapa rumah sakit, di mana kita bisa mengetes alergi yang berasal dari sumber makanan tertentu,” jelasnya.
Telur sendiri merupakan salah satu sumber protein hewani yang bioelastisitasnya tinggi. Artinya, sebagian besar sumber protein ini dapat terserap oleh tubuh. Sebenarnya, lanjut dr. Yohana, yang penting adalah kebutuhan protein terpenuhi.
“Jadi kalau kita tidak makan daging, makan telur juga tidak masalah karena juga merupakan sumber protein hewani,” katanya.
Lalu seberapa banyak kita boleh mengonsumsi telur?
Dokter Yohana mengatakan, satu (putih) telur mengandung 6 gram sumber protein. Jika kebutuhan protein kita 50 gram sehari, kita bisa mengonsumsi 1-2 butir telur per hari atau sekitar 12 gram. Sisa kebutuhan protein bisa diambil dari sumber makanan lain. Hanya saja, ada yang perlu diperhatikan karena telur mengandung kolesterol. Dalam satu telur terdapat 150 mg kolesterol.
“Jika tubuh kita sedang mengalami gangguan metabolisme seperti DM (Diabetes Mellitus), asupan konsumsi kolesterol maksimal 200-300 mg. Berarti maksimal kita mengonsumsi satu telur dalam sehari,” katanya. Kecuali bila kuning telurnya tidak dikonsumsi, karena kolesterol tinggi terdapat dalam kuning telur.
Oleh karena itu, tak perlu enggan mengonsumsi telur. Kita hanya perlu melihat kebutuhan protein harian, yang bisa didapat dari hewani (berupa telur, daging) dan nabati (berasal dari kacang-kacangan, nasi). Untuk perbandingan protein hewani dan nabati yang baik, kalau kebutuhan protein esensialnya lebih tinggi bisa 2 hewani : 1 nabati.
Oleh karena itu, tak perlu enggan mengonsumsi telur. Kita hanya perlu melihat kebutuhan protein harian, yang bisa didapat dari hewani (berupa telur, daging) dan nabati (berasal dari kacang-kacangan, nasi). Untuk perbandingan protein hewani dan nabati yang baik, kalau kebutuhan protein esensialnya lebih tinggi bisa 2 hewani : 1 nabati.
“Namun secara keseluruhan, makanan yang dikonsumsi mestinya bervariasi. Jadi meskipun telur sumber protein yang baik, tidak lantas kita harus makan telur terus menerus. Sebab, makanan bervariasilah yang baik untuk tubuh kita,” jelasnya.
Bagaimana pola memasak telur yang baik?
Menurut Dr Yohana, telur yang direbus jelas tidak menambah lemak karena bebas dari minyak. Namun demikian mengenai pola memasak, kita juga perlu memperhitungkan kebutuhan lemak harian kita.
No comments:
Post a Comment